Monumen Rantai Kentjana di SMP N 1 Magelang, sumber |
Semenjak kejatuhan sekutu oleh pasukan Jepang pada tahun 1942 maka
terjadi perubahan yang mendasar dari kurikulum dan sistem pendidikan
yang diterapkan di Indonesia. Itulah yang sempat membuat kegiatan
belajar mengajar sempat terhenti. Akan tetapi setelah melalui tahap
persiapan selama 4 bulan, maka pada bulan Juni 1942 sekolah mulai dibuka
lagi oleh pemerintah.
Pasca persiapan sistem dan kurikulum baru tersebut, maka secara
bertahap sekolah-sekolah mulai dibuka. Baik itu dari tingkat dasar,
menengah maupun kejuruan serta tingkat tinggi. Begitu pula di Magelang.
Sejak Juni 1942 mulai dipersiapkan dibukanya kembali sebuah sekolah
tingkat menengah dengan nama "Syoto Chu Gakko".
Pada masa Hindia Belanda di Magelang terdapat 3 sekolah tingkat
menengah, ialah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pertama dikelola
oleh Gubernemen, kedua oleh Yayasan Kristen dan yang ketiga kepunyaan
Perguruan Taman Siswa. Ada juga sekolah setingkat sekolah menengah ialah
MOSVIA (Midlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah
yang mendidik calon-calon pamong praja.
Pada saat dibukanya SMP Magelang yang letaknya di Jalan Boton, telah
memiliki 3 atau 4 kelas dengan jumlah guru hanya 4 orang, masing-masing
Soetedjo Atmodipoerwo merangkap sebagai direktur yang dibantu 3 guru
lainnya ; Soediwan, Mardiyo, dan P Siagian. Dengan penerapan kurikulum
Jepang, maka belajar bahasa Jepang menjadi suatu kewajiban. Selain itu
harus melakukan tata upacara Jepang seperti Seikerei. Seragam putih
putih dengan pet putih dan rambut harus dipotong hingga plontos. Masa
belajar hanya 4 atau 5 hari, karena pada hari Jum'at dan atau Sabtu
melakukan kegiatan Kinrohoshi (semacam kerja bakti ke luar halaman
sekolah, seperti tangsi militer, membuat lubah perlindungan,
mengumpulkan biji jarak,dll).
Tanpa disadari latihan baris berbaris dan perang-perangan dapat
menumbuhkan jiwa penuh disiplin dan mulailah berkembang kesadaran dan
cinta tanah air, semangat patriotisme, serta kesediaan untuk berkorban
bagi nusa dan bangsanya. Di sinilah cikal bakal munculnya semangat
dengan cita-cita membebaskan negeri dari kungkungan penjajah. Hingga
melahirkan pejuang-pejuang muda yang aktif dalam perjuangan fisik maupun
diplomasi yang beberapa di antara mereka menjadi pahlawan yang
berguguran di medan pertempuran dalam memperjuangkan kemedekaan bangsa
dan negara.
Salah satu pahlawan yang akhirnya tempat dimana beliau gugur dibangun
Tugu Pahlawan Rantai Kentjana adalah Prapto Kecik. Pada waktu itu
tanggal 31 Oktober 1945 terjadi kontak senjata antara Prapto Kecik
dengan pasukan Jepang yang sedang melakukan teror berdarah di sekolah.
Demi membela Almamater, kawan-kawan dan guru yang saat itu terancam
jiwanya oleh pasukan teror Jepang, beliau rela mengorbankan jiwanya.
Akhirnya tempat dimana beliau gugur; di salah satu sudut halaman dalam
sekolah, dibangun monumen atas inisiatif murid-murid sendiri pada tahun
1947. Inilah yang melambangkan kepeloporan dan patriotisme pelajar waktu
itu.
Para Eks Ketua Rantai Kentjana SMP Magelang (dari zaman Jepang - prakemerdekaan s/d thn 1948):
Nakoela Soenarta : 1942 - 1943 Soetarno : 1943 - 1944 Soetarto : 1944
- 1945 Moch Mahmud : 1945 - 1946 Soetardjo : 1946 - 1947 Soekarno :
1947 - 1948 Setelah itu praktis kepengurusan Rantai Kentjana di Sekolah
SMP Magelang berakhir/terputus karena perang kemerdekaan II. Dan tidak
lagi ada komunikasi dan informasi lengkap dari SMP sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar